Relakah Keberanian itu Mati?

Beberapa hari kemarin ngobrol sama Basytian Pratama, salah satu mahasiswa Ilmu Komputer UPI yang sudah beberapa kali menjadi juara dalam beberapa lomba (juara 2 increfest 2011, juara 1 Alvion 2012 kategori aplikasi mobile, dan the best winner Alvion 2012, juara 2 di salah satu kategori Hackathon 2012). Saya mencoba menanyakan, apa yang membuatnya berani untuk mencoba mengikuti lomba, karena sebagian besar mahasiswa saya sering kurang berani untuk mengikuti lomba. Ada banyak alasan, misalnya sedang banyak ujian, tidak percaya diri, merasa belum memiliki skill yang ada di lomba, merasa belum keren skill-nya…… dan berbagai alasan lain. Menumbuhkan semangat memang tidak mudah.

image source: http://innoblessing.com/wp-content/uploads/2012/07/Perbedaan-Antara-Kekuatan-dan-Keberanian-426×288.jpg

Untuk mengikuti lomba, maka yang dibutuhkan adalah keberanian dulu. Basytian bercerita pada saat Hackathon banyak angkatan 2011 dari IPB yang mengikuti jauh jauh dari Bogor…… memang harus ada keinginan atau passion untuk mencari pengalaman, dengan pengalaman kita bisa mengambil pelajaran. Ini juga sama dengan yang ditulis Pak Rinaldi Munir dosen saya di status FB, banyak mahasiswa IF ITB angkatan 2011 yang mengikuti Gemastik 2012, walau mereka belum mendapat mata kuliah algoritma dan pemrograman. Keinginan untuk memiliki pengalaman inilah yang dapat membuat manusia akan terus belajar dan menjadi hebat.

Saya bertanya kepada Basyt, apakah pernah mengalami keberaniannya mati, Basyt bercerita dulu waktu SMA pernah mengikuti lomba dan tidak menang, lalu sejak itu Basyt agak enggan mengikuti lomba. Ini masalah mind set, bahwa semua yang dihargai di Indonesia adalah keberhasilan mendapatkan juara saat lomba. Padahal kalah dalam lomba bukanlah dosa. Seperti halnya ketika kecil, kita belajar naik sepeda….. berapa kali kita terjatuh? berapa kali kita gagal menaklukan sepeda? pasti jawabannya sering, tapi karena ada keinginan kita untuk bisa maka kita terus mencoba, sampai akhirnya bisa. Sejak kecil kita diberikan kekuatan oleh Tuhan tentang keinginan, sebagaimana bayi belajar berdiri…. terjatuh… belajar lagi…. terjatuh…. belajar lagi dan seterusnya sampai bayi bisa berdiri. Lalu kenapa ketika manusia semakin besar, ketika mereka banyak mendengarkan lingkungan, maka seiring dengan semakin matinya semangat itu….. takut hanya karena anggapan orang lain… yang belum tentu orang lain itu lebih hebat….

Relakan anugrah keberanian itu mati…. keberanian untuk belajar positif, keberanian untuk mencari pengalaman positif… just try it :).

Mulailah dari hal-hal kecil, seperti ketika kita bayi, dari memiliki keberanian bertanya, keberanian untuk berkomunikasi…. keberanian mencoba hal baru yang positif.

Berusaha untuk menjadi manusia yang tidak kecanduan persetujuan orang lain, kecanduan pujian orang lain, kecanduan perkataan baik orang lain sehingga membuat kita tidak mampu menerima penolakan orang lain, tidak mampu menerima kritikan orang lain, tidak mampu menerima perkataan jelek orang lain. Tanpa sadar jika kita mendengarkan orang lain tentang hal-hal negatif maka kita mendoktrin diri kita bahwa perkataan orang lain itu benar, dan kita nothing….. Relakah orang yang sebenarnya tidak ingin kita berkembang menguasai hidup kita dengan mind set yang dia tanamkan….. dan kita menjadi orang yang terpuruk. Terperangkap dalam pikiran orang lain. Relakah masa depan kita ditentukan orang lain?

Relakah keberanian itu mati?

Diterbitkan oleh

Rosa Ariani Sukamto

Rosa A. S. Seseorang yang senang berbagi keilmuan di bidang Computing Education, Pemrograman Dasar, Pengembangan Perangkat Lunak, Little Bit English, Anggrek, dan berbagi Musik :) .

4 tanggapan untuk “Relakah Keberanian itu Mati?”

  1. potensi kualitas orang-orang di negeri ini sebenarnya sangat sangat luar biasa… hanya saja seringkali banyak orang yang dengan mudahnya dikalahkan oleh mind-set negatif yang notabene dibentuk, baik oleh keadaan ataupun pikiran mindernya sendiri… “nek kuliah neng kedokteran ngko ndang larang”, “mau usaha ntar takutnya ga ada uang buat makan”, “mau berinfaq banyak ntar jangan-jangan dipake buat yg tidak-tidak sama pengurus masjidnya”, serta tipikal ketakutan-ketakutan lainnya yang hal tersebut justru membuat kita cenderung tidak bergerak sama sekali… yuk “bergerak”!!! 🙂

  2. Kalau saya apa karena dibiasakan orang tua dari kecil ya? Dulu saya setiap ada lomba dipaksakan untuk ikut. Mulai dari menggambar, acara nyanyi 17-an, sampai lomba sempoa, dan selalu tidak menang. Maklumlah karena masih kecil jadi saat tidak menang ya menangis.

    Padahal waktu dulu ada perasaan “Ih ya sudah lah ya, aku nggak menang-menang untuk apa ikut” tapi orang tua menyuruh ikut aja.

    Saya teringat waktu dulu dalam hati terdapat api kecil untuk mendapatkan piala. Sampai-sampai saya membuat piala sendiri dari kardus bekas. Ya, tujuan untuk menang.

    Entah mengapa lambat laun perasaan untuk mendapatkan juara itu tidak ada lagi, tapi perasaan menyenangkan untuk berlomba yang bangkit. Piala saya yang pertama adalah saat lomba berhitung cepat, dan saya sama sekali tidak mengharapkan untuk mendapatkan juara, ciyus! (^.^)

    Berangkat dari sana setiap perlombaan yang saya ikuti saya tidak menggebu-gebu untuk mendapatkan juara tapi kesenangan untuk menunjukkan yang saya bisa lakukan kepada orang lain. Piala atau piagam penghargaan hanyalah bonus dari pengalaman yang berharga (ya.. walaupun menyenangkan juga bila dapat uang pembinaan, ahaha!)

    Ada lagu dari Jepang yang berjudul “Sekai No Hitotsu Dake No Hana.” Lagu ini menceritakan menjadi nomor satu itu hebat, tapi kita semua unik jadi tidak perlu menjadi nomor satu dengan keunikan kita masing-masing. Semua orang itu nomor satu di dunia ini.

    Regards

    Giri

Tinggalkan Balasan ke rosa Batalkan balasan